Mengapa Kita Suka Drama?


Kok Bisa - Sejak dulu, orang Indonesia memang paling suka nonton drama. Mulai zaman telenovela, sinetron naga terbang, gosip artis, serigala tampan, sampai perseteruan pesulap versus motivator! Seperti halnya hidup tanpa cinta, konon hidup tanpa drama bagai taman tak berbunga. Rasanya sungguh sangat hampa!
Tapi sebetulnya, apa yang dimaksud dengan ‘drama’? Menurut Urban Dictionary, drama terjadi saat kejadian yang sebetulnya biasa, justru dibesar-besarkan seolah-olah luar biasa. Dunia per-YouTube-an Indonesia pun sering dihebohkan dengan banyak drama. Masih ingat dengan curhatan para YouTuber? Atau, perseteruan antarkubu?
Meski kerap dihujani dislike dan komentar negatif, konten YouTube penuh drama terus saja mendapat jutaan view tiap harinya. Sedangkan konten yang lebih bermanfaat, dilirik saja jarang. Jadi, mengapa banyak orang sangat suka nonton drama?
Sebagai manusia, wajar kalau kita suka drama. Berdasarkan teori uses & gratification, apa yang kita tonton adalah apa yang bisa memuaskan kebutuhan kita. Dibandingkan hidup kita yang cuma begitu-begitu saja, drama tentu terasa jauh lebih seru! Akhirnya, kita menonton drama agar bisa merasakan ketegangan dan keseruan, meski efeknya palsu dan cuma sesaat.
Melalui drama, kita juga bisa merasakan aneka emosi yang umumnya tak kita dapatkan dalam kehidupan sehari-hari, entah positif maupun negatif. Emosi-emosi ini memicu otak kita melepaskan endorfin dan dopamin. Perpaduan kedua zat kimia otak ini dapat menciptakan efek-efek seperti: mengurangi rasa sakit, menurunkan stres, dan meningkatkan rasa senang. Kombinasi yang nikmat, bukan? Tak heran banyak orang jadi kecanduan dengan efek yang ditimbulkan oleh drama… mungkin termasuk juga kalian yang sedang menonton video ini.
Yap! Benar. Kalian! Berdasarkan studi para peneliti dari Microsoft, drama, terutama di internet, bersifat resiprokal. Artinya, selain ada yang bikin isu, harus ada juga yang menanggapi. Kebanyakan orang yang mengumbar hal-hal sensasional di YouTube adalah orang yang suka cari perhatian. Dengan meng-klik LIKE, SUBSCRIBE, dan berkomentar, artinya kita sedang mengompori perilaku YouTubers tersebut. Itu sebabnya, semakin banyak haters, biasanya sebuah isu justru makin panas dibahas.
Jadi, drama akan selalu terjadi di sekitar kita. Sekarang, terserah kita sebagai penonton untuk memilih apakah mau ikut membuat sebuah situasi menjadi drama, atau tidak. Dan seperti biasa, terima kasih.

Apa Yang Terjadi Jika Manusia Lenyap dari Bumi?

Kok Bisa - Kita, manusia, baru muncul di bumi 200.000 tahun lalu. Ya, ‘baru’ muncul. Bandingkan saja dengan umur bumi, apalagi alam semesta. Jika umur bumi diumpamakan satu kali 24 jam, manusia mungkin baru muncul sekitar… kurang 4 detik sebelum hari berganti. Masih sangat muda, bukan?
Ilustrasi

Meski demikian, manusia berhasil menaklukkan bumi dalam waktu relatif yang singkat. Dari asalnya di Afrika, manusia telah menyebar ke seluruh penjuru bumi, menemukan aneka teknologi, membangun gedung-gedung tinggi, dan melahirkan peradaban-peradaban. Sekarang… apa jadinya jika suatu hari, seluruh populasi manusia yang hidup di bumi tiba-tiba… lenyap? Apa yang akan terjadi pada alam dan peradaban yang mendadak kita tinggalkan?
Pertama-tama, ayo kita lihat efeknya dalam lingkup kecil, misalnya pada bangunan dan infrastruktur yang ada di sekitar kita. Faktnya, bangunan zaman sekarang sesungguhnya jauh lebih rapuh dibandingkan bangunan zaman dulu, yang rata-rata dibangun dengan bebatuan utuh. Dalam waktu beberapa bulan, rumah kita misalnya, mungkin masih tampak sama. Namun tanpa penggunaan dan perawatan yang rutin, rumah kita akan mulai hancur—bukan karena bencana alam, monster jahat, atau… siapa tahu, serangan alien dari luar angkasa—tapi justru karena unsur paling penting bagi kehidupan di bumi, yaitu air.
71% permukaan bumi kita diliputi air. Dalam wujud gas, air membuat udara menjadi lembap. Karena udara yang lembap, pelan-pelan kayu akan lapuk, besi menjadi berkarat, kemudian tembok mulai dihinggapi aneka organisme perintis, seperti jamur dan lumut. Aneka tumbuhan liar juga akan menumbuhi retakan-retakan, hingga suatu hari, akar-akar mereka akhirnya meruntuhkan struktur bangunan.
Dalam bentuk cair, air hujan biasanya dialirkan melalui kanal dan selokan supaya tidak membanjiri kota. Namun tanpa perawatan manusia, saluran air lama-lama akan berhenti berfungsi. Padahal kebanyakan kota zaman sekarang tidak punya cukup pohon sebagai penyerap air. Dalam beberapa tahun, kota-kota akan digenangi air yang akan jadi sumber kehidupan banyak tanaman dan hewan di kemudian hari. Dalam 500 tahun, tempat-tempat yang kita kenal sekarang akan kembali seperti kondisi semula sebelum dibangun oleh manusia.
Para peneliti tidak sekadar berasumsi. Bukti nyatanya bisa kita lihat hari ini di Distrik Chernobyl, yang mendadak ditinggalkan seluruh penduduknya akibat bencana radiasi nuklir. Hanya dalam waktu 20 tahun, 70% wilayah Distrik Chernobyl telah berubah menjadi hutan yang dihuni satwa-satwa liar setempat.
Nah, kita sudah tahu apa yang akan terjadi dalam lingkup sempit. Sekarang, ayo kita berpindah ke lingkup yang lebih luas.
Sejak Revolusi Industri sampai sekarang, kita telah menggunakan bahan bakar fosil secara besar-besaran. Dari bahan yang sama, kita juga menciptakan plastik. Namun tanpa disadari, kita telah merusak siklus karbon yang telah bertahan jutaan tahun, dengan meningkatkan kadar karbon di atmosfer. Hal ini mengakibatkan efek rumah kaca dan naiknya suhu bumi.
Namun saat manusia lenyap, tidak akan ada lagi yang menggunakan bahan bakar fosil. Dalam waktu tiga bulan, polusi udara akan mulai menghilang. Dalam satu tahun, karbon di udara pelan-pelan akan kembali seimbang karena proses fotosintesis tumbuhan. Setelah 200 tahun, lautan dan tumbuh-tumbuhan akan menghilangkan kelebihan karbon di udara secara menyeluruh.
Manusia setidaknya butuh 200.000 tahun untuk membangun peradaban seperti sekarang. Namun saat manusia lenyap, bumi hanya membutuhkan waktu kurang dari 30.000 tahun untuk menyingkirkan nyaris seluruh sisa peradaban kita. Mungkin kecuali plastik, yang masih akan meracuni bumi hingga sekitar 100.000 tahun lagi.
Kalau begitu, apa yang akan terjadi jika manusia tetap ada di bumi? Apakah bumi tetap lestari atau justru akan hancur? Tentukan pilihan kalian dengan meng-klik opsi yang tersedia di kanan atas layar video ini. Kami akan membuat video lanjutan berdasarkan pilihan terbanyak kalian. Dan seperti biasa, terima kasih.

Bisakah Kita Mempengaruhi Orang Dengan Hipnotis?

Kok Bisa - Tubuh kalian mulai rileks, kalian pelan-pelan mengantuk, dan dalam 3… 2… 1… kalian semua akan tertidur.
Pernahkah kalian dihipnotis? Mungkin kita lebih sering menonton acara hipnotis daripada mengalaminya sendiri. Di TV, orang-orang yang dihipnotis kehilangan kesadaran dan akhirnya melakukan apa yang diminta si penghipnotis, seperti melakukan hal konyol atau membeberkan rahasia memalukan. Tapi, benarkah hal ini bisa terjadi saat kita dihipnotis seperti pertanyaan Avan ini?
Untungnya, semua ini tidak benar. Meski menggunakan prinsip-prinsip hipnotis, apa yang terjadi di TV rupanya cuma sandiwara alias acting. Hipnotis semacam ini disebut Hipnotisme Panggung yang tujuannya untuk menghibur. Kalau begitu, apakah hipnotis sebetulnya cuma bohong-bohongan?
Tidak juga! Hipnotis atau Hipnosis sesungguhnya adalah fenomena psikologis. Singkatnya, hipnosis adalah kondisi saat fokus dan konsentrasi kita sangat tinggi. Pada saat yang sama, kesadaran kita terhadap lingkungan sekitar akan berkurang. Hasilnya, kita yang biasanya keras kepala dan banyak alasan akan lebih mudah menerima sugesti.
Hipnotis sudah dipraktikkan selama berabad-abad, misalnya oleh peradaban Hindu dan Mesir Kuno. Zaman dulu, hipnotis sering dikaitkan dengan ilmu gaib dan perdukunan. Baru pada abad ke-18, hipnotis mulai dipraktikkan secara ilmiah oleh dokter asal Wina bernama Franz Anton Mesmer. Iseng-iseng buat yang merasa penasaran, kosakata Bahasa Inggris “mesmerize” yang berarti “memukau” memang berasal dari nama Dokter Mesmer lho… Dokter Mesmer memopulerkan “Mesmerisme”. Dalam Mesmerisme, hipnotis berasal dari daya magnetisme hewan yang disalurkan dokter untuk menyembuhkan pasien.
Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan, kita akhirnya tahu bahwa hipnotis tidak ada hubungannya dengan magnetisme hewan, kutub utara selatan, segitiga bermuda, ataupun magnetisme-magnetisme lainnya. Hipnotis juga tidak membuat kita kehilangan kesadaran seperti zombie yang bisa diperintah ini itu. Kata hypno sendiri memang bisa berarti tidur dalam Bahasa Yunani, tapi faktanya, hipnotis cuma memberi efek tidur palsu, bukannya tidur nyenyak sampai ke alam mimpi…
Namun meski banyak mitosnya, hipnotis sebetulnya punya manfaat, terutama di dunia medis. Hipnotis ini disebut Hipnotisme Klinis. Penelitian menunjukkan bahwa hipnotis dapat memengaruhi bagian otak yang berperan dalam perubahan kesadaran dan emosi. Dengan sugesti untuk mengubah cara berpikir kita, terapi hipnotis bisa membantu mengurangi rasa sakit, mengatasi susah tidur atau insomnia, sampai menghilangkan aneka kebiasaan buruk, seperti merokok atau mengutil.
Bagaimanapun, efek positif hipnotis cuma bisa terasa kalau kita rela dan pasrah untuk dihipnotis. Artinya, kita sendiri harus punya niat untuk berubah jadi lebih baik. Dan seperti biasa, terima kasih.

Kenapa Jakarta Rentan Banjir?

Kok Bisa - Banjir oh banjir, bencana yang tiap 5 tahun sekali datang menghantui penduduk Jakarta. Malah sekarang, banjir datang tiap tahunnya dan membuat penduduk Jakarta makin stres. Tidak hanya membuat jalanan macet, tetapi banjir juga menimbulkan banyak sekali penyakit, sampah hingga cucian hanyut. Mengapa banjir di Jakarta terus terjadi? Apakah ini semua salah Ahok? Ataukah salah si tukang bakso yang jualan bakso kuahnya kebanyakan sampe tumpah-tumpah yang akhirnya bikin jakarta banjir?

Intinya, banjir Jakarta merupakan masalah yang multidimensional, mulai dari daratan Jakarta sendiri yang sudah tidak sanggup menerima volume air yang besar, pemerintah yang kurang siap antisipasinya, sampai penduduknya sendiri yang sangat sulit untuk diatur.
Jika melihat dari sejarah geografisnya, Jakarta dibentuk oleh sungai-sungai yang mengalir dari wilayah Bogor dan sekitarnya. Sungai-sungai besar yang mengalir ke Jakarta, seperti sungai Ciliwung, jaman dulu membawa material hasil letusan gunung Salak, gunung Gede, dan gunung Pangrango bersamanya, yang kemudian terendapkan, terus menumpuk dan menghasilkan daratan, yang kita kenal kini sebagai Jakarta. Fakta uniknya, sungai-sungai tersebut, juga ikut menerobos daratan yang dibuatnya, sehingga membuat Jakarta daratannya hingga kini dialiri oleh banyak sungai.

Kemudian, pada waktu musim kemarau, sungai-sungai di Jakarta ini sangat bau dan kering. Tapi, waktu musim hujan, sungai sungai ini membawa volume air yang sangat besar yang akhirnya membuat daerah tepian sungai jadi ikutan banjir. Saat urbanisasi terjadi, dimana Jakarta akhirnya menjadi Jakarta, dalam tanda kutip, banyak orang yang tinggal dipinggiran sungai sehingga membuat daerah resapan banjir, menjadi hilang.

Akibatnya, banjir tidak mampu diserap daerah tepian sungai lagi dan akhirnya meluas kemana-mana. Belum lagi ditambah, penduduk Jakarta yang membuang sampah ke sungai seakan-akan sudah menjadi hobi turun temurun yang patut dilestarikan, yang pada akhirnya membuat aliran sungai menjadi tidak lancar. Dan, jadilah banjir Jakarta.

Urbanisasi penduduk ke Jakarta juga membuat Jakarta makin padat. Banyak orang yang kemudian membangun rumah di kota Bogor dan Puncak, dimana pembangunan ini membuat banyak hutan di daerah tersebut akhirnya digundulkan demi pemukiman.

Akibatnya, air hujan di wilayah Bogor dan Puncak yang seharusnya diserap oleh hutan, malah jadi langsung mengalir menuju Jakarta bagai kuah bakso yang tumpah dari mangkoknya. Volume air yang besar dari Bogor dan Puncak tersebut tidak dapat ditampung oleh sungai-sungai di Jakarta dan jadilah banjir di Jakarta.

Diperkirakan, pada tahun 2015 ini, penduduk Jakarta mengalami kerugian mencapai 3 triliun rupiah hanya gara-gara banjir. Pemprov DKI Jakarta harusnya bisa lebih baik menanggulangi masalah ini. Seperti misalnya dengan memberikan prediksi bencana banjir, melakukan kerjasama dengan lembaga internasional dan NGO, dan menerapkan peraturan yang tegas untuk drainase dan daerah aliran sungai.

Tapi selain Pemprov itu sendiri, penduduk Jakarta sendiri harusnya juga berpartisipasi aktif mencegah banjir. Misalnya dengan melaporkan pembangunan tempat tinggal liar di tepian sungai dan melaporkan orang-orang yang hobinya buang sampah sembarangan lewat berbagai macam media yang sudah maju di jaman sekarang, seperti lewat aplikasi Qlue yang tersedia di Google Play Store, layanan pengaduan online Lapor!, SMS Gubernur yang langsung bisa disambungkan ke Ahok hingga Jakarta Smart City yang dapat membuat warga Jakarta dapat mengawasi pekerjaan pemerintahnya sendiri.

Ya, masalah banjir Jakarta memang sangat sulit untuk dibenahi. Tidak hanya membutuhkan uang, tapi juga membutuhkan kesabaran hati untuk menanggulanginya. Dan seperti biasa, terima kasih.

Kenapa 1 menit itu 60 detik? Ngga 100 detik?


Kok Bisa - Kenapa 1 menit itu 60 detik, ngga 100 detik? Kenapa harus 60? Terima kasih pada bangsa babilonia akan hal itu. 60 detik diciptakan untuk memudahkan penghitungan waktu. Kenapa bisa mudah? Angka 60 adalah angka yang bisa banyak dibagi angkanya dibanding 100.
60 bisa dibagi 2, 3, 4, 5 sampe 6. Jadi begitu halnya kalo kita nanya jam berapa sekarang sama orang. Ngga perlu kerepotan. Kita bisa bagi setengah jam, sepertiga jam, seperempat jam, seperlima jam sampe 10 menit.
Sedangkan kalo satu jam itu 100 menit, waktu akan jadi lebih sulit dibaginya. Karena cuma bisa secara bulat dibagi 2, 4, 5 dan 10 sendiri.
Tapi, kenapa satu hari itu 24 jam, bukan 60 jam?
Alasannya karena bangsa babilonia menggunakan basis 12 dalam sistem penghitungan mereka. 12 mereka adalah 10 bagi kita sekarang. Tapi kenapa 12? 12 adalah angka yang sangat mudah dibagi. Dan menjadi alasan yang sangat masuk akal bagi mereka untuk mendefinisikan waktu berdasarkan angka 12.
Oleh karenanya bangsa babilonia mendefinisikan rentang waktu antara matahari terbit dan terbenam menjadi 12 bagian. Yang kemudian menjadi satu hari adalah 24 jam, yang menjadi asal-usulnya penghitungan waktu kita sekarang, yang berdasarkan kelipatan angka 12, termasuk alasan kenapa 1 menit itu 60 detik.
Pada tahun 1794 di perancis pernah ada usulan untuk membagi waktu sehari menjadi 10 jam, 100 menit dan 100 detik berdasarkan sistem bilangan desimal. Tapi usulan tersebut gagal dengan alasan yang sudah jelas. Sulit untuk dibagi dan orang saat itu sudah terbiasa dengan sistem penghitungan yang sudah ada.
Sekali lagi kita perlu berterima kasih pada bangsa babilonia dan peradaban kuno lainnya, karena dengan sistem mereka kita jadi lebih gampang untuk bertanya jam sama orang tanpa perlu ngitung pake kalkulator.
Jadi jam berapa sekarang? Saya sudah harus pergi, terima kasih.